Kepemimpinan Menurut Al-Qur’an
Pemimpin yang berilmu
tetapi tidak kuat maka semua kebijakannya sulit diterapkan. Sebaliknya,
pemimpin yang kuat tetapi tidak berilmu maka setiap kebijakannya tidak akan
menyentuh rakyat banyak.
Nabi mereka berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengangat
Thalut sebagai Rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memperintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang banyak?.” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah
telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh
yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat
247)
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum
Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu hukum ilahi.
Terlebih dalam Al-Qur’an kadang menyebut pemimpin sebagai “Malik” yang bentuk
jamaknya adalah “Muluk”. Kata ini diartikan kedalam bahasa Indonesia sebagai
Pemimpin, Penguasa atau Raja. Dari akar kata ini juga diambil kata “al-milk”
(Kepemilikan), “al-mulk” (Kerajaan) dan lain-lain.
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin
terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini ditegaskan dalam sabda
Rasulullah SAW, yang maknanya sebagai berikut : “Ingatlah, setiap kamu adalah
pemimpin dan akan dimitai pertanggung jawaban tentang kepemimpinnya, seorang
suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimitai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagian pemimpin dan
akan dimitai pertanggung jawabannya.” (Al-Hadits).
Kembali lagi ke surat Al-Baqarah 247 (ayat yang menjadi pokok
bahasan dalam tulisan ini) menyebutkan bahwa Tahlut diangkat tuhan menjadi
“Malik” (Pemimpin). Di dalam ayat ini terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh
Tuhan ketika Tahlud diangkat sebagai raja (Pemimpin).
Pertama, Thalul sudah dianugerahi ilmu yang luas. Adapun ilmu
yang dimiliki oleh Thalul, menurut Abu al-‘Aql, adalah ilmu yang berkenaan
dengan tata negara. Selain ahli dalam ilmu tata negara, Thalul juga paling
mengerti tentang segala kemaslahatan untuk rakyatnya, demikian disebutkan
al-Baydhawi dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil.
Kedua, Thalul dianugerahi tubuh yang perkasa. Menurut Ibn
‘Adil di dalam tafsirnya al-Lubab bahwa yang dimaksud dengan tubuh yang perkasa
yaitu kekuatan. Berdasarkan komentar Wahbah al-Zuhayli dalam tafsirnta
al-Wasith, kekuatan fisik Tahlul ini adalah sebagian bekal baginya melawan
musuh didalam peperangan.
Kekuatan ilmu dan kekuatan fisik yang terdapat pada Tahlul
ini patut dijadikan sebagai untuk memilih pemimpin yang ideal. Pemimpin harus
berilmu luas supaya mudah memakmurkan rakyatnya dan juga harus kuat supaya
dapat memberantas tindakan-tindakan yang dapat menghancurkan bangsa. Ilmu dan
kekuatan harus berjalan secara sinergik dan bukan menunjukan prioritas.
Pemimpin yang bodoh akan mudah dipengaruhi olehorang-orang
yang mempunyai kepentingan sehingga tidak dapat membuat kebijakan-kebijakan
yang signifikan untuk kepentingan rakyat. Demikian pemimpin yang lemah baik
fisik maupun mental akan mudah dirong-rong oleh orang yang jahat.
Selain itu ada empat sifat yang menjadikan kepemimpinannya
hebat yaitu:
1.
Siddiq
(Jujur) sehingga ia dapat dipercaya.
2.
Tabligh
(Penyampai) atau kemampuan berkomunikasi atau bernegosiasi.
3.
Amanah
(Bertanggung Jawab) dalam menjalankan tugasnya
4.
Fathanah
(Cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan
mengimplementasikannya.
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil,
sampai pada tingkat mondial, kami hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini
bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik.
InsyaAllah. Amin! Itu saja dan Syukron...
No comments:
Post a Comment