Wednesday 22 July 2015

Tere Liye

Tere Liye, penulis yang karya-karyanya pasti sangat dirindukan. Novel Rindu hadir seakan menjawab kerinduan itu. Novel Rindu, yang di dalamnya terdapat kisah akan masa lalu, kebencian, takdir, cinta sejati, dan kemunafikan.

Bulan syawal seharusnya menjadi bulan dimana keluarga bisa saling berkumpul dengan suasana hangat. Namun, lain hal dengan Novel Rindu, bulan syawal menjadi bulan yang penuh dengan kesibukan.  9 syawal 1357 H – bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1938 M menjadi awal sebuah pejalanan besar.

Menilik dari judul, Rindu, mungkin yang terbayang adalah rasa rindu pada seorang kekasih atau pada orang yang kita cintai. Justru lebih dari itu. Rindu ini, menceritakan akan sebuah kerinduan akan panggilan untuk menggenapkan rukun islam.

Gemuruh air laut seakan kalah dengan raungan peluit angin dari sesuatu yang hendak merapat yaitu sebuah kapal uap. Kapal uap kargo ini memiliki ukuran panjang 136 meter dan lebar meter. Kapal ini bertuliskan Blitar Holland di lambung kapalnya. Kedatangan kapal ini bukan tanpa tujuan. Ia datang selain membawa kargo, tapi juga memiliki tugas mulia yaitu mengantarkan jamaah menuju tanah suci Mekkah.

Dalam novel ini, tokoh yang pertama kali dikenalkan adalah Daeng Adipati. Pedagang dari Makassar yang kaya raya, masih muda, dan berperangai baik. Ditemani istri dan kedua orang anaknya, Anna dan Elsa tak lupa pembantu yang setia menemani.

Hal yang senada juga dirasakan oleh Ahmad Karaeng. Ulama masyhur di Makassar yang masih memiliki darah keturunan raja Gowa pertama yang masuk islam, Sultan Alauddin. Perawakan fisik dan pribadi yang baik begitu disegani menambah kesan sempurna yang melekat  pada Gurutta-sapaan Ahmad Karaeng.

Ambo Uleng, sosok yang muncul dengan hati yang berbeda. Disaat yang lain suka cita dalam perjalanan ini, ia datang dengan segudang kegalauan. Ia datang untuk melamar pekerjaan menjadi kelasi di Blitar Holland. Bukan untuk pergi ibadah haji, bukan juga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, untuk meninggalkan sesuatu. “Aku hanya ingin meninggalkan semua, kaptem.” Hal:33

Bonda Upe yang memiliki masa lalu yang kelam sebagai cabo. Berawal dari kekalahan ayahnya dalam berjudi yang notabene ayahnya adalah penjudi kambuhan. Suatu ketika ayahnya membuat kesalahan yang fatal, yaitu menjadikan Ling-Ling-nama kecil Bonda Upe- sebagai taruhannya. Akhirnya Ling-Ling dijemput paksa dan dibawa ke Macau Po- tempat pelacuran kelas atas di Batavia.

Masa lalu yang kelam mungkin dialami oleh sebagian orang. Namun, ada ibroh yang bisa kita ambil. Masa lalu sudah menjadi bagian dari hidup kita, lantas kita bukan lari dari masa lalu, bukan juga untuk dilupakan. Namun, berikan tempat terbaik dan biarkan waktu yang memudarkannya.

Kebencian sering kita alami ketika seseorang berbuat terlampau batas. Begitupu yang dirasakan Daeng Adipati. kebencian kepada ayahnya begitu besar. Ayah yang seharusnya mengayomi keluarga, malah berlaku kasar kepada keluarga. Itulah yang dirasakan Daeng. Ironi memang ketika kita membenci seseorang yang seharusnya kita sayangi.

Tak sedap jika sebuah novel tidak mengulik romansa cinta yang indah. Semua itu tergambar dalam sosok Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet. Cinta yang mereka hadirkan begitu indah, membuat iri setiap mata memandang. Tetapi, semua itu seakan sirna ketika Mbah Putri meninggal dunia. Duka hati yang menyelimuti Mbah Kakung. Tak habis pikir, bagaimana bisa? Seakan takdir yang ia salahkan. Mengapa tidak ditunda sementara waktu?

Sejak awal kemunculan Ambo Uleng memang sudah menyita banyak perhatian pembaca. Pembaca dibuat mereka-reka apa yang sebenarnya dialami Ambo. Pembaca dibuat penasaran. Namun, baru terkuat menjelang akhir cerita. Dan muncul sebagai pertanyaa keempat. Pertanyaan yang diajukan Ambo, apakah cinta sejati itu?

Semasa kecil Ambo pernah menyelamatkan gadis kecil pemilik kapal. Dan ketika usia 20 tahun, ia melamar pekerjaan kepada pemilik kapal yang baru saja membeli kapal. Bekerja selama 4 tahun di keluarga itu, rasa mulai tumbuh. Namun, mereka tak pernah bicara, tak berani menatap. Kalau berpapasan, mereka menunduk malu. Hal ini bisa kita jadika teladan bahwasannya cinta tak harus menuruti hawa nafsu yang melanggar kaidah-kaidah agama
.
Seketika, perasaan Ambo luluh lantah ketika lamarannya ditolak keluarga. Bukan tanpa alasan. Karena si gadis, sudak dijodohkan oleh ayahnya dengan murid seorang yang sangat penting di Gowa. Gurutta, kembali hadir dengan nasihatnya. “Kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita yang paling sempurna di muka bumi.” Hal.492. cita sejati pasti akan kembali dengan cara yang mengagumkan yang terpenting kita sebagai manusia sudah selayaknya memperbaiki diri dan memantaskan diri.

Sosok yang sempurna sudah melekat pada Gurutta. Bagaimana tidak, ia sudah menjawab 4 dari 5 pertanyaan. Namun, pertanyaan kelima justru hadir dari sosok ulama yang masyhur ini. Tere memang cerdik, berhasil mematahkan kesan sempurna seorang manusia yang bernama Ahmad Karaeng. Tidak tanggung-tanggung, pertanyaannya di jawab oleh kelasi yang tak lain Ambo Uleng. “ya Rabb, anak muda ini telah memberikan jawaban padanya”.