Tere Liye, penulis yang
karya-karyanya pasti sangat dirindukan. Novel Rindu hadir seakan menjawab
kerinduan itu. Novel Rindu, yang di dalamnya terdapat kisah akan masa lalu,
kebencian, takdir, cinta sejati, dan kemunafikan.
Bulan syawal seharusnya menjadi
bulan dimana keluarga bisa saling berkumpul dengan suasana hangat. Namun, lain
hal dengan Novel Rindu, bulan syawal menjadi bulan yang penuh dengan
kesibukan. 9 syawal 1357 H – bertepatan
dengan tanggal 1 Desember 1938 M menjadi awal sebuah pejalanan besar.
Menilik dari judul, Rindu,
mungkin yang terbayang adalah rasa rindu pada seorang kekasih atau pada orang
yang kita cintai. Justru lebih dari itu. Rindu ini, menceritakan akan sebuah
kerinduan akan panggilan untuk menggenapkan rukun islam.
Gemuruh air laut seakan kalah
dengan raungan peluit angin dari sesuatu yang hendak merapat yaitu sebuah kapal
uap. Kapal uap kargo ini memiliki ukuran panjang 136 meter dan lebar meter.
Kapal ini bertuliskan Blitar Holland di lambung kapalnya. Kedatangan kapal ini
bukan tanpa tujuan. Ia datang selain membawa kargo, tapi juga memiliki tugas
mulia yaitu mengantarkan jamaah menuju tanah suci Mekkah.
Dalam novel ini, tokoh yang
pertama kali dikenalkan adalah Daeng Adipati. Pedagang dari Makassar yang kaya
raya, masih muda, dan berperangai baik. Ditemani istri dan kedua orang anaknya,
Anna dan Elsa tak lupa pembantu yang setia menemani.
Hal yang senada juga dirasakan
oleh Ahmad Karaeng. Ulama masyhur di Makassar yang masih memiliki darah keturunan
raja Gowa pertama yang masuk islam, Sultan Alauddin. Perawakan fisik dan
pribadi yang baik begitu disegani menambah kesan sempurna yang melekat pada Gurutta-sapaan Ahmad Karaeng.
Ambo Uleng, sosok yang muncul
dengan hati yang berbeda. Disaat yang lain suka cita dalam perjalanan ini, ia
datang dengan segudang kegalauan. Ia datang untuk melamar pekerjaan menjadi
kelasi di Blitar Holland. Bukan untuk pergi ibadah haji, bukan juga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, untuk meninggalkan sesuatu. “Aku hanya
ingin meninggalkan semua, kaptem.” Hal:33
Bonda Upe yang memiliki masa lalu
yang kelam sebagai cabo. Berawal dari kekalahan ayahnya dalam berjudi yang
notabene ayahnya adalah penjudi kambuhan. Suatu ketika ayahnya membuat
kesalahan yang fatal, yaitu menjadikan Ling-Ling-nama kecil Bonda Upe- sebagai
taruhannya. Akhirnya Ling-Ling dijemput paksa dan dibawa ke Macau Po- tempat
pelacuran kelas atas di Batavia.
Masa lalu yang kelam mungkin
dialami oleh sebagian orang. Namun, ada ibroh yang bisa kita ambil. Masa lalu
sudah menjadi bagian dari hidup kita, lantas kita bukan lari dari masa lalu,
bukan juga untuk dilupakan. Namun, berikan tempat terbaik dan biarkan waktu
yang memudarkannya.
Kebencian sering kita alami
ketika seseorang berbuat terlampau batas. Begitupu yang dirasakan Daeng
Adipati. kebencian kepada ayahnya begitu besar. Ayah yang seharusnya mengayomi
keluarga, malah berlaku kasar kepada keluarga. Itulah yang dirasakan Daeng.
Ironi memang ketika kita membenci seseorang yang seharusnya kita sayangi.
Tak sedap jika sebuah novel tidak
mengulik romansa cinta yang indah. Semua itu tergambar dalam sosok Mbah Kakung
Slamet dan Mbah Putri Slamet. Cinta yang mereka hadirkan begitu indah, membuat
iri setiap mata memandang. Tetapi, semua itu seakan sirna ketika Mbah Putri
meninggal dunia. Duka hati yang menyelimuti Mbah Kakung. Tak habis pikir,
bagaimana bisa? Seakan takdir yang ia salahkan. Mengapa tidak ditunda sementara
waktu?
Sejak awal kemunculan Ambo Uleng
memang sudah menyita banyak perhatian pembaca. Pembaca dibuat mereka-reka apa
yang sebenarnya dialami Ambo. Pembaca dibuat penasaran. Namun, baru terkuat
menjelang akhir cerita. Dan muncul sebagai pertanyaa keempat. Pertanyaan yang
diajukan Ambo, apakah cinta sejati itu?
Semasa kecil Ambo pernah menyelamatkan
gadis kecil pemilik kapal. Dan ketika usia 20 tahun, ia melamar pekerjaan
kepada pemilik kapal yang baru saja membeli kapal. Bekerja selama 4 tahun di
keluarga itu, rasa mulai tumbuh. Namun, mereka tak pernah bicara, tak berani
menatap. Kalau berpapasan, mereka menunduk malu. Hal ini bisa kita jadika
teladan bahwasannya cinta tak harus menuruti hawa nafsu yang melanggar
kaidah-kaidah agama
.
Seketika, perasaan Ambo luluh
lantah ketika lamarannya ditolak keluarga. Bukan tanpa alasan. Karena si gadis,
sudak dijodohkan oleh ayahnya dengan murid seorang yang sangat penting di Gowa.
Gurutta, kembali hadir dengan nasihatnya. “Kisah cinta kau, siapa penulisnya?
Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita yang paling sempurna di muka bumi.”
Hal.492. cita sejati pasti akan kembali dengan cara yang mengagumkan yang
terpenting kita sebagai manusia sudah selayaknya memperbaiki diri dan
memantaskan diri.
No comments:
Post a Comment